Jakarta, Gribnews.id – Dalam esainya, Maimun (Staf Pengajar IAIN Raden Intan Lampung) menyatakan bahwa eksistensi perempuan dalam konteks kepemimpinan strategis di berbagai lini kehidupan, termasuk pemerintahan, telah menjadi isu kontroversial di kalangan ulama klasik dan kontemporer.
Sebagian ulama memperbolehkan perempuan memegang jabatan strategis, sementara yang lain tidak. Kedua pandangan ini didukung oleh argumentasi masing-masing.
Namun, jika dianalisis secara metodologis (ushul fiqh) dan kontekstual, pandangan yang membolehkan perempuan menjadi pemimpin tampak lebih logis dan rasional, mempertimbangkan aspek maslahat dan mafsadat yang ditimbulkannya.
Memasuki era modernisasi, isu tentang kepemimpinan perempuan, khususnya di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, masih menjadi perdebatan.
Isu ini sering dimanfaatkan dalam dinamika politik, terutama selama pilkada, dan menjadi pendorong tuntutan kesetaraan gender oleh kaum perempuan di tengah dominasi kepemimpinan laki-laki.
Perempuan terus memperjuangkan perlawanan terhadap ketidakadilan gender dalam arena kepemimpinan sosial dan politik, demi terciptanya demokrasi yang berkeadilan.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah, mayoritas ulama klasik dan sebagian ulama kontemporer berpendapat bahwa perempuan tidak diperbolehkan menjadi pemimpin negara.
Sebelum era modern, pandangan ini dipegang mayoritas ulama. Namun, memasuki era globalisasi yang ditandai dengan perkembangan teknologi dan media, cara pandang terhadap kepemimpinan perempuan mulai bergeser.
Di beberapa negara yang menganut sistem demokrasi, termasuk dalam nilai-nilai keislaman, pandangan ini mulai berubah.
Dua Perspektif Kepemimpinan Perempuan
Pertama, dari sudut pandang kelompok yang menolak perempuan menjadi pemimpin, mereka merujuk pada QS. An-Nisa ayat 34 yang menegaskan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan.
Ayat ini sering digunakan sebagai alasan untuk menolak kepemimpinan perempuan, yang juga tercermin dalam berbagai ritual Islam seperti perwalian pernikahan, imam salat, dan kehidupan rumah tangga. Dalil ini kemudian dijadikan dasar bagi mereka yang menentang kepemimpinan perempuan.