Jakarta, Gribnews.id – Media sosial sering kali dipenuhi dengan keluhan masyarakat terhadap kinerja pemerintah. Di balik keluhan-keluhan ini, muncul narasi sarkasme yang tajam: “Jangan terlalu menuntut, toh suaramu sudah dibeli!”
Pernyataan ini bak tamparan keras bagi demokrasi, meragukan hak rakyat untuk menuntut kinerja pemimpin yang seharusnya mereka pilih secara bebas. Di baliknya, tersembunyi luka mendalam akibat praktik politik uang yang merusak integritas dan kapabilitas proses pemilihan umum.
Ironisnya, rakyat yang seharusnya menjadi pemilik suara justru terjerat dalam lingkaran setan politik uang. Suara mereka bukan lagi ekspresi bebas, melainkan telah dikomoditaskan menjadi barang dagangan.
Mengapa Orang Menjual Suaranya?
Praktik politik uang atau klientelisme adalah parasit yang menggerogoti kehidupan politik dan demokrasi di Indonesia. Jajak pendapat Litbang Kompas pada awal 2023 mengungkapkan angka yang mengkhawatirkan: 36,5% responden mengaku pernah terlibat dalam transaksi politik uang. Ini berarti 3 dari 10 pemilih telah terjerumus dalam praktik yang merusak ini.
Angka ini semakin mencemaskan menjelang Pemilu 2024. Pemahaman masyarakat dan aktor politik tentang klientelisme masih jauh dari memadai. Upaya pencegahan seperti sosialisasi dan kampanye anti politik uang belum membuahkan hasil maksimal.
Burhanuddin Muhtadi, seorang pakar politik, mengungkapkan bahwa faktor pendorong vote-selling bukan semata-mata pendapatan, status sosial, atau pendidikan.
Dalam bukunya “Kuasa Uang: Politik Uang dalam Pemilu Pasca-Orde Baru”, ia menyoroti bahwa faktor utama yang mendorong seseorang untuk terlibat dalam transaksi klientelisme adalah normalisasi praktik tersebut di masyarakat. Hal ini membuat masyarakat menjadi permisif, bahkan melihatnya sebagai tindakan yang wajar.
Lebih jauh, masih banyak komunitas masyarakat yang melihat klientelisme sebagai suatu gestur kebaikan hati, bahkan religius. Mereka mendukungnya dengan keyakinan bahwa tindakan ini adalah suatu kebajikan.
Faktor Psikologis di Balik Penjualan Suara
Studi tentang perilaku penjualan suara oleh Rizka Halida, seorang pakar psikologi sosial dari Universitas Indonesia, bersama tiga rekannya pada tahun 2022 menemukan bahwa jumlah uang yang ditawarkan bisa memengaruhi keputusan seseorang untuk menjual atau menolak suaranya. Hal ini terutama terjadi jika seseorang memiliki inhibitory self-control yang rendah.
Inhibitory self-control adalah kemampuan untuk menahan diri dari perilaku impulsif yang berisiko atau melanggar aturan. Seseorang dengan inhibitory self-control yang tinggi cenderung menyadari bahwa menerima uang dari pembeli suara adalah partisipasi dalam transaksi ilegal dan tidak etis, sehingga mereka lebih mungkin untuk menolaknya.
Tetap Terhubung Dengan Kami:



CATATAN REDAKSI: Apabila Ada Pihak Yang Merasa Dirugikan Dan /Atau Keberatan Dengan Penayangan Artikel Dan /Atau Berita Tersebut Diatas, Anda Dapat Mengirimkan Artikel Dan /Atau Berita Berisi Sanggahan Dan /Atau Koreksi Kepada Redaksi Kami Laporkan,
Sebagaimana Diatur Dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.